By: Islamiyah Indah
Les? Bimbel? Kursus? Hanya
sekali saya mengikutinya ketika saya duduk di bangku sekolah dasar. Karena
diwajibkan oleh sekolah. Itu alasannya.
Saya bungsu dari 3 bersaudara.
Semua perempuan. Saat saya SD, 2 kakak saya masih sama-sama menempuh pendidikan
formal. Ayah saya seorang tukang bangunan, dan ibu saya seorang penjahit
rumahan. Dulu sekolah tidak gratis. Semuanya bayar. Buku, SPP, uang untuk
ulangan tengah semester dan akhir semester, uang gedung , dan sebagainya. Tidak
ada “Pak BOS” yang sangat baik hati mau membiayai jutaan anak Indonesia agar
dapat menempuh pendidikan dasar bahkan menengah secara gratis. Ya, itulah
alasannya. Kami murid-murid kelas 6 SD diwajibkan ikut les setiap pukul 6 pagi
sebelum satu jam kemudian bel masuk sekolah pada umumnya berbunyi. Les untuk
persiapan UKM (Uji Kendali Mutu) yang saat ini telah berganti nama, sistem, dan
prosedur menjadi UASBN. Saya bersyukur karena Allah memberi kecerdasan yang
cukup lumayan dibanding teman-teman sekelas saya. Sehingga dengan bermodal
belajar ditemani ibu di rumah dan tambahan bimbel disekolah, saya tidak
mengalami kesulitan bahan kegagalan belajar. Terbukti setelah pengumuman
kelulusan, saya dinobatkan menjadi siswa yang memiliki nilai UKM tertinggi di
sekolah. Di kelas lebih tepatnya. Karena waktu itu kelas 6 di sekolah saya
hanya satu kelas yang terdiri dari 46 siswa.
Banyak teman saya menambah
belajar dengan mengikuti bimbel di tempat-tempat ternama yang harganya lebih
dari 1 juta per paket program dengan garansi biaya kembali 100% jika anak tidak
lulus. Saya yang waktu itu masih 12 tahun, juga sangat ingin bisa les seperti
mereka. Tapi saya kembali bersyukur, Allah memberiku nurani yang masih bisa
merasakan kesulitan kedua orang tua saya membiayai sekolah 3 orang anaknya.
Bagi saya yang memang tidak pernah memegang uang hingga ratusan ribu ketika SD,
30ribu perbulan untuk biaya SPP+Bimbel itu sangat mahal. Saya yakin orangtua
saya kesulitan dan terbebani. Belum lagi membiayai kakak pertama saya yang kala
itu juga akan menghadarpi UNAS kelas 3 SMKnya serta kakak kedua saya yang masih
kelas 2 SMP.
Saya sering melihat buku les
teman-teman saya yang mengikuti pendidikan formal yang memberi jaminan
kelulusan. Syukurlah, teman-teman saya tidak pelit. Mereka juga tidak enggan
bertanya kepada saya jika mereka tidak mengerti. Sering saya bersama
teman-teman melakukan tanya jawab soal-soal. Hingga saya pun bisa mendapat
tambahan ilmu dari mereka, dari buku mereka, dan cerita tentang metode mengajar
guru-guru bimbel mereka yang mengalir begitu saja dari mulut mereka, sehingga
saya tidak perlu mengeluarkan uang sepeserpun untuk tahu ilmu yang mereka
dapatkan.
Kini saya telah dewasa. 7
tahun selepas saya SD, saya bisa mengambil hikmah dari masa kcil saya yang
cukup sulit berkaitan dengan biaya sekolah. Ibu saya sebagai tempat meminta
uang (bukan bapak, karena bapak hanya mencari uang tanpa harus pusing
memanagenya), pernah bercerita tentang finansial saat anak-anaknya masih
sekolah. Ketika kami mengatakan
“Bu, bayar SPP..”
“Bu, beli buku...”
“Bu, bayar angsuran buku...”
“Bu, bayar ulangan...”
“Bu, bayar cicilan uang
gedung....”
Dan sebagainya,,,
Ibu hanya mengatakan “iya..”
pada kami.
Seraya hati kecilnya berdoa
“semoga gajiku dan gaji bapaknya anak-anak barokah sehingga cukup untuk
membiayai semuanya”. Ibuku memang orang yang pandai bersyukur Insya Allah.
Sehingga ibu tidak pernah merasa kekurangan. Apa-apa yang hendak dibayar Insya
Allah bisa dilunasi.
Sekarang saya kuliah di bidang
pendidikan. 13 orang tua mempercayai saya untuk membantu setiap anaknya yang
membutuhkan bantuan belajar. Dengan gaji yang saya peroleh, saya bisa membantu
orang tua saya membiayai kuliah meski belum 100%. Saya bersyukur. Saya
satu-satunya anak yang bisa meneruskan ke jenjang perguruan tinggi. Sedang
kedua kakak saya langsung bekerja setamat SMK.
“Bersyukurlah pada Dzat Yang
Maha Pemberi lagi Maha Pemurah, dan Raihlah Kesuksesanmu!”
Sumber: Pengalaman pribadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar