Kamis, 21 Juni 2012

Cerita Tentang Bimbel


By: Islamiyah Indah

Les? Bimbel? Kursus? Hanya sekali saya mengikutinya ketika saya duduk di bangku sekolah dasar. Karena diwajibkan oleh sekolah. Itu alasannya.
Saya bungsu dari 3 bersaudara. Semua perempuan. Saat saya SD, 2 kakak saya masih sama-sama menempuh pendidikan formal. Ayah saya seorang tukang bangunan, dan ibu saya seorang penjahit rumahan. Dulu sekolah tidak gratis. Semuanya bayar. Buku, SPP, uang untuk ulangan tengah semester dan akhir semester, uang gedung , dan sebagainya. Tidak ada “Pak BOS” yang sangat baik hati mau membiayai jutaan anak Indonesia agar dapat menempuh pendidikan dasar bahkan menengah secara gratis. Ya, itulah alasannya. Kami murid-murid kelas 6 SD diwajibkan ikut les setiap pukul 6 pagi sebelum satu jam kemudian bel masuk sekolah pada umumnya berbunyi. Les untuk persiapan UKM (Uji Kendali Mutu) yang saat ini telah berganti nama, sistem, dan prosedur menjadi UASBN. Saya bersyukur karena Allah memberi kecerdasan yang cukup lumayan dibanding teman-teman sekelas saya. Sehingga dengan bermodal belajar ditemani ibu di rumah dan tambahan bimbel disekolah, saya tidak mengalami kesulitan bahan kegagalan belajar. Terbukti setelah pengumuman kelulusan, saya dinobatkan menjadi siswa yang memiliki nilai UKM tertinggi di sekolah. Di kelas lebih tepatnya. Karena waktu itu kelas 6 di sekolah saya hanya satu kelas yang terdiri dari 46 siswa.
Banyak teman saya menambah belajar dengan mengikuti bimbel di tempat-tempat ternama yang harganya lebih dari 1 juta per paket program dengan garansi biaya kembali 100% jika anak tidak lulus. Saya yang waktu itu masih 12 tahun, juga sangat ingin bisa les seperti mereka. Tapi saya kembali bersyukur, Allah memberiku nurani yang masih bisa merasakan kesulitan kedua orang tua saya membiayai sekolah 3 orang anaknya. Bagi saya yang memang tidak pernah memegang uang hingga ratusan ribu ketika SD, 30ribu perbulan untuk biaya SPP+Bimbel itu sangat mahal. Saya yakin orangtua saya kesulitan dan terbebani. Belum lagi membiayai kakak pertama saya yang kala itu juga akan menghadarpi UNAS kelas 3 SMKnya serta kakak kedua saya yang masih kelas 2 SMP.
Saya sering melihat buku les teman-teman saya yang mengikuti pendidikan formal yang memberi jaminan kelulusan. Syukurlah, teman-teman saya tidak pelit. Mereka juga tidak enggan bertanya kepada saya jika mereka tidak mengerti. Sering saya bersama teman-teman melakukan tanya jawab soal-soal. Hingga saya pun bisa mendapat tambahan ilmu dari mereka, dari buku mereka, dan cerita tentang metode mengajar guru-guru bimbel mereka yang mengalir begitu saja dari mulut mereka, sehingga saya tidak perlu mengeluarkan uang sepeserpun untuk tahu ilmu yang mereka dapatkan.
Kini saya telah dewasa. 7 tahun selepas saya SD, saya bisa mengambil hikmah dari masa kcil saya yang cukup sulit berkaitan dengan biaya sekolah. Ibu saya sebagai tempat meminta uang (bukan bapak, karena bapak hanya mencari uang tanpa harus pusing memanagenya), pernah bercerita tentang finansial saat anak-anaknya masih sekolah. Ketika kami mengatakan
“Bu, bayar SPP..”
“Bu, beli buku...”
“Bu, bayar angsuran buku...”
“Bu, bayar ulangan...”
“Bu, bayar cicilan uang gedung....”
Dan sebagainya,,,
Ibu hanya mengatakan “iya..” pada kami.
Seraya hati kecilnya berdoa “semoga gajiku dan gaji bapaknya anak-anak barokah sehingga cukup untuk membiayai semuanya”. Ibuku memang orang yang pandai bersyukur Insya Allah. Sehingga ibu tidak pernah merasa kekurangan. Apa-apa yang hendak dibayar Insya Allah bisa dilunasi.
Sekarang saya kuliah di bidang pendidikan. 13 orang tua mempercayai saya untuk membantu setiap anaknya yang membutuhkan bantuan belajar. Dengan gaji yang saya peroleh, saya bisa membantu orang tua saya membiayai kuliah meski belum 100%. Saya bersyukur. Saya satu-satunya anak yang bisa meneruskan ke jenjang perguruan tinggi. Sedang kedua kakak saya langsung bekerja setamat SMK.
“Bersyukurlah pada Dzat Yang Maha Pemberi lagi Maha Pemurah, dan Raihlah Kesuksesanmu!”

Sumber: Pengalaman pribadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar